WASHINGTON – The government said Friday it's back in the business of funding embryonic stem cell research — at least for now — after an appeals court temporarily lifted a judge's ban.
The National Institutes of Health said it is resuming its own research and will again evaluate applications from scientists who are seeking taxpayer money to do the work, a process that has been frozen since late last month.
An appeals court on Thursday temporarily stayed a judge's preliminary order barring that funding until it could hear full arguments in the next few weeks.
In the meantime, the NIH said it is lifting its suspension of all grants and contracts involving use of the cells.
"We are pleased with the court's interim ruling, which will allow promising stem cell research to continue" while the court battle is waged, said the NIH's statement.
Scientists who already had received NIH grants had been told to continue working until their dollars ran out, but that 22 projects due to get yearly checks in September would have to find other money.
Now the question is whether the NIH will finish the reviews required for those projects during what could be only a temporary reprieve. No matter what, the case is certain to be bouncing around the court system for many months before there's a final resolution.
"We believe it's a shame that they would rush to push funding of embryonic stem cell research, and a waste of taxpayer money," said Steven H. Aden, senior legal counsel for the Alliance Defense Fund, which is involved with the lawsuit that challenged the government funding.
Embryonic stem cells are master cells that can turn into any tissue of the body, and researchers hope one day to harness that power in ways that cure spinal cord injuries, Parkinson's disease and other ailments.
Culling them from embryos left over after fertility treatment kills a days-old embryo. A 1996 law prohibits the use of taxpayer dollars in work that harms an embryo, so batches have been culled using private money. But those batches can reproduce in lab dishes indefinitely, and government policies say using taxpayer dollars to work with the already created batches is permissible.
Last month, U.S. District Court Judge Royce Lamberth disagreed, in a sharply worded preliminary injunction in which he argued that the research violated the intent of the 1996 law. Lamberth left little doubt that he is inclined to issue a final order barring funding, which will set off a new round of appeals.
Amid the back-and-forth, researchers are struggling to figure out how to secure long-running experiments.
"I take no solace in the ruling because so much uncertainty remains about the future of human stem cell research," said Dr. George Daley, a leading stem cell researcher at Children's Hospital Boston. "I won't rest peacefully until there is a clear and unambiguous vote of support from the Congress for this vital research."
Congress twice passed legislation specifically calling for tax-funded stem cell research, which President George W. Bush vetoed. Some Democrats are considering whether to try the legislation again.
The lawsuit was filed by two scientists who argued that President Barack Obama's expansion of the number of stem cell lines available for government funding jeopardized their ability to win grants to research adult stem cells — ones that have already matured to create specific types of tissues — because of extra competition.
Many scientists believe the more flexible embryonic cells have more promise, but lots of work is under way with both kinds. The NIH's estimated budget for next year would spend more than three times as much on research for adult stem cells as embryonic ones, said Patrick Clemins of the American Association for the Advancement of Science.
By LAURAN NEERGAARD, AP Medical Writer Lauran Neergaard, Ap Medical Writer – Fri Sep 10, 1:08 pm ET
Showing posts with label Inspirasi. Show all posts
Showing posts with label Inspirasi. Show all posts
Saturday, September 11, 2010
Friday, September 10, 2010
Sebuah catatan dari autism.info-situs informasi seputar autis
Mengembangkan Kelebihan Anak Autis
TEMPO Interaktif, Jakarta: Kini Adihutama Wirasatya, 9 tahun, sudah mahir memainkan gamelan. Bahkan ia sudah bisa mencari nada sendiri dari alat musik tradisional itu. Kemudian murid kelas III Sekolah Dasar Negeri I, Ngemplak, Klaten, ini memiliki pemahaman konsep abstrak yang tidak kalah dengan teman sebayanya. Padahal tidak banyak yang bisa dikerjakan Wira--panggilannya--saat usianya beranjak lima tahun. Kala itu bocah laki-laki ini cuma bisa mengamuk dan menangis. Dia tidak bisa duduk tenang, berbicara, bahkan kesulitan untuk buang air besar.
"Yang jelas, saraf motorik kasar dan halusnya tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya," ujar sang bunda, Lucy Catherine Isabella, 38 tahun, kepada Tempo saat dihubungi melalui telepon selulernya kemarin. Menurut Lucy, pada usia 18 bulan, Wira divonis dokter telah mengidap gangguan spektrum autistik.
Nah, pasca-vonis itu, Lucy mencoba beragam pilihan pengobatan demi anaknya. Awalnya, dokter menawari operasi anus buatan di perut Wira sebagai solusi kesulitan buang air besarnya. Padahal semua organ pencernaannya normal dan asupan seratnya pun tinggi. Karena itu, Lucy memutuskan tidak menuruti tindakan medis tersebut. Selain dokter, alumnus Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada 1996 ini mencoba terapi psikiater untuk membantu kemampuan bicara dan pengendalian emosi Wira. Tapi hasilnya, si kecil tidak mengalami kemajuan berarti.
Hingga suatu kali, saat Wira berusia 5,5 tahun, Lucy tertarik mendatangi Arogya Mitra Akupuntur, yang terletak di Dukuh Ngemplak, Kalikotes, Klaten, Jawa Tengah. "Ternyata hasilnya luar biasa," Lucy mengungkapkan. Baru dua bulan terapi tusuk jarum oleh Eko Tunggono, anaknya sudah mengeluarkan suara. Kemajuan pun terus diraihnya. Memasuki bulan keenam, Wira bisa bicara layaknya anak normal. "Buang air besarnya juga sudah bisa secara alami," mantan wartawati media harian di Ibu Kota ini memaparkan.
Seiring terapi, Lucy menjelaskan, dia selalu menumbuhkan persepsi positif terhadap anaknya. Ia pun selalu mengembangkan diri agar bisa memahami anaknya dengan baik. Yang terpenting, ia yakin kepada segala kemungkinan terbaik dan tidak pernah menyerah. Walhasil, kini Wira tumbuh menjadi anak sehat secara fisik maupun mental. Dan sebagai apresiasinya terhadap Eko Tunggono, Lucy menulis buku berjudul Dari Pulau Buru Menjadi Penyelamat Anak-anak Autis Hiperaktif pada Maret lalu. Apalagi di Klinik Arogya Mitra, Eko berusaha keras untuk mengembangkan kemampuan anak autis dan hiperaktif.
Sebetulnya, tidak cuma Lucy yang menghadapi problematika seperti ini. Masih banyak orang tua lain yang mencari solusi demi penyembuhan anak mereka sebagai pengidap autistik. Satu di antaranya adalah presenter televisi, Muhammad Farhan, 39 tahun. Anak pertamanya, Muhammad Ridzky Khalid, 10 tahun, divonis dokter mengidap autistik pada usia 18 bulan.
Sejak itu, bagi Farhan, yang terpenting adalah memberi pendidikan mengenai aturan dasar bagi Ridzky. "Paling tidak dia tahu norma dan sopan santun yang sudah berlaku umum," katanya saat ditemui seusai acara peduli autisme sedunia di Graha Sucofindo, Jakarta, Kamis pekan lalu, misalnya, seperti cara membersihkan diri setelah dari kamar mandi, memakai pakaian, dan cara makan yang benar. "Kan tidak mungkin saat usianya 20 tahun, (dia masih) dicebokin bapaknya."
Kemudian suami Nani Rubiyani ini selalu menumbuhkan sifat percaya diri kepada anaknya. Caranya dengan membawa Ridzky ke tempat-tempat umum, seperti pusat perbelanjaan. "Ada beberapa orang tua malu membawa anaknya ke luar rumah. Bahkan sampai ada yang disembunyikan," katanya. Hal itu semakin membuat si anak terasing dari lingkungannya. Selain itu, dia tidak membebani target bagi si kecil harus bisa apa dalam beberapa bulan setelah sekolah. Ridzky sendiri adalah siswa sekolah inklusi di Sekolah Global Mandiri, Jakarta.
Saat ini, Ridzky ahli dalam pengetahuan tentang klasifikasi hewan dan tumbuhan. Tidak itu saja, dia juga hafal letak kota setiap negara yang terpampang di peta dunia. "Sebab itu, kalau ke Singapura atau Bali, kami selalu menyempatkan pergi ke kebun binatangnya," ujar pria kelahiran Bogor ini. Yang jelas, kata Farhan, jika diarahkan ke jalur yang benar, anak autis berpotensi memiliki keahlian yang melebihi orang normal.
Hal itu sudah ada contohnya. Lihat saja kiprah seorang anak autis, Oscar Yura Dompas, 29 tahun, yang mampu menyabet gelar sarjana Sastra Inggris dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta. Oscar berhasil mempertahankan scientific writing berjudul Plot Analyzes of Erich Maria Remarque's All Quiet On The Western Front. Selain itu, pemuda berkepala plontos ini telah menelurkan buku berjudul Autistic Journey pada 2004.
"Ke depan, saya lagi nulis naskah film mengenai anak autis sedang jatuh cinta," katanya saat ditemui Tempo di Graha Sucofindo, Jakarta, Kamis pekan lalu. Menurut sang ayah, Jeffrey Dompas, 52 tahun, sedari kecil Oscar tidak pernah mendapatkan terapi apa pun. Dia meyakini bahwa yang dibutuhkannya hanya naluri dasar orang tua untuk memahami dirinya. "Jadi, bagaimana memperlakukan dia layaknya anak normal saja," ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Profesor Komaruddin Hidayat pun menyebutkan, anak autis bisa berkembang lebih optimal lewat pendidikan. "Pendidikan dapat membangkitkan rasa percaya diri anak autis," katanya pada kesempatan yang sama. Untuk itu, ia menekankan, peranan keluarga sangat dibutuhkan bagi kemajuan kognitif si anak. "Keluarga adalah solusi bagi anak autis," ia menegaskan.
Penulis : HERU TRIYONO
Sumber: www.autism.info.com
Labels:
Autism,
Inspirasi,
Special Education,
Special needs children,
Therapy.
Subscribe to:
Posts (Atom)